Pengamat Sosial

Pengamat Sosial

Senin, 10 Maret 2014

MELEMAHNYA MATA UANG RUPIAH

Seluruh asumsi yang dibangun pemerintah dan DPR dalam menetapkan APBN 2014 dapat dipastikan akan salah semua. Dasar penetapan besaran APBN 2014 adalah sebagai berikut (1) Pertumbuhan ekonomi 6 %, (2) inflasi 5,5 %, (3) nilai tukar rupiah Rp. 10.500, (4) harga minyak ICP 104 USD/barel, (5) deficit APBN 1,69% PDB. Jika melihat perkembangan dalam beberapa bulan terahir seluruh asumsi pemerintah akan meleset jauh lebih buruk dari perkiraan dan akan memperburuk kinerja perekonomian. Bagaimana mungkin penyelamatan ekonomi dapat dilakukan diatas asumsi yang salah total ?

Keadaan ekonomi nasional saat ini semakin tidak menentu yang disebabkan dua hal yakni (1) fundamental ekonomi secara internal yang rapuh. (2) Kondisi eksternal terutama krisis AS dan Eropa yang terus membayangi ekonomi Indonesia yang sangat tergantung pada kedua entitas ekonomi tersebut.

Kedaan ekonomi global yang sangat berpengaruh pada ekonomi nasional dikarenakan (1) sistem keuangan yang menganut devisa bebas dan nilai tukar mengambang menyebabkan mata uang rupiah rentan terhadap gejolak eksternal dan cenerung merosot. (2) kecendrungan harga pangan yang meningkat dan selanjutnya menyebabkan inflasi yang tinggi di dalam negeri dikarenakan Indonesia yang sangat bergantung pada pangan impor. (3) kecendrungan meningkatnya harga minyak dan meningkatnya pengeluaran negara dalam membiayai impor minyak baik minyak mentah maupun oil product yang akan mempegaruhi ekonomi dalam negeri dikarenakan Indonesia telah menjadi net importir minyak.

Krisis pada tingkat global dan rapuhnya fundamental ekonomi nasional akan melipatgandakan krisis ekonomi nasional yang akan dimulai dengan dua hal (1) ambruknya ekonomi makro Indonesia khususnya sector moneter 2) ambruknya kondisi fiscal atau APBN yang akan langsung memukul sector pemerintahan.



Ambruknya Sektor Pemerintahan

APBN tampaknya akan menerima hantaman yang besar dari krisis global. (1) disebabkan oleh kenaikan harga minyak mentah dan oil produk yang akan membengkakkan pengeluaran subsidi dalam APBN, (2) merosostnya nilai tukar rupiah terhadap US dolar yang akan melipatgandakan utang luar negeri, bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah. Cicilan utang pokok. Kedua hal ini akan menjadi sumber penyebab utama yang akan menghantam sector keuangan pemerintah dalam 2014.

Pemicu utamanya adalah pembengkakan subsidi energy yakni subsidi BBM dan listrik. Belanja subsidi energi di RAPBN 2014 melonjak Rp 44,1 triliun, dari Rp 284,7 triliun menjadi Rp 328,7 triliun. Selain itu pemicu yang lebih keras adalah membengkaknya nilai utang luar negeri pemerintah akibat merosotnya rupiah. Untuk menutup pengeluaran APBN yang semakin besar untuk membayar bunga utang dan cicilan utang pokok pemerintah terus mengakumulasi utang luar negeri dan dalam negeri.

Padahal data Bank Indonesia menunjukkan posisi surat utang negara sampai dengan oktober 2013 mencapai Rp 915,175 triliun. Sementara Posisi utang luar negeri pemerintah USD 123,212 miliar. Dengan demikian pada tingkat kurs 12.000 maka total utang pemerintah secara keseluruhan adalah Rp 1.478,544 triliun utang luar negeri + Rp. 915,175 triliun utang dalam negeri. Sehingga utang pemerintah keseluruhan adalah Rp. 2.393,719 triliun.

Sebagai diberitakan rencana utang pemerintah pusat pada tahun 2014 mencapai Rp 345 triliun. Senilai Rp 205 triliun ditarik melalui penerbitan surat berharga negara guna menutup defisit fiskal tahun 2014. Sisanya sekitar Rp 140 triliun adalah utang untuk melunasi utang yang jatuh tempo. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Robert Pakpahan, dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (28/10/2013).

Cara pemerintah mengatasi masalah dengan menumpuk utang akan semakin menambah masalah perekonomian dimasa yang akan datang, memperburuk fundamental ekonomi, meningkatkan kerentanan nilai tukar. Hal yang paling membahayakan adalah negara akan semakin tenggelam dalam cenkraman bangsa lain dengan leher terikat kuat oleh beban utang luar dan dalam negeri.



Darurat Ekonomi Nasional

Nilai tukar rupiah terhadap USD kian merosot menyentuh level terendah dan belum pernah terjadi sejak tahun krisis 1998. Nilai tukar rupiah terhadap dolar telah menyentuh Rp. 12.245 (kurs tengah BI, 12/20/2013). Para ahli memperkirakan nilai rupiah akan terus merosot dikarekana masalah fundamental ekonomi Indonesia yang tidak cenderung membaik.

Penyebab utamanya adalah tingginya pengeluaran ekonomi dalam membiayai impor pangan, BBM dan kebutuhan industri berbahan baku impor. Impor pangan dan BBM merupakan contributor utama merosotnya nilai tukar rupiah terhadap USD.

Indonesia terus mengalami deficit perdagangan sepanjang 2013. Deficit kembali terjadi dalam bulan oktober senilai USD 1,89 miliar. Sepanjang Januari Oktober deficit mencapai 6,36 miliar USD (Kementrian Perdagagan RI). Deficit perdagangan sepanjang Januari-Oktober sebagian besar disumbangan oleh migas dimana impor migas sebesar USD 37,11 sementara ekspor migas 26,47 atau mengalami deficit senilai USD - 10,64 miliar. Deficit transaksi berjalan sepanjang Januari–Oktober mencapai USD -24,276 miliar, sedangkan deficit neraca pembayaran mencapai USD -11,212 miliar.

Sementara uang yang terus mengalir keluar dari ekonomi Indonesia untuk pembayaran utang pokok dan cicilan utang pemerintah dan swasta semakin menghantam ekonomi nasional Tingginya pengeluaran bagi pembiayaan ekonomi Indonesia dipicu oleh utang luar negeri pemerintah dan swasta yang semakin membesar.

Data Bank Indonesia menunjukkan utang luar negeri pemerintah sampai dengan kwartal III (oktober 2013) senilai USD 123,212 miliar dan posisi utang luar negeri swasta USD 136,655 miliar. Total utang luar negeri pemerintah dan swasta mencapai USD 259,867 miliar. Dengan demikian secara keseluruhan utang luar negeri pemerintah dan swasta dalam rupiah mencapai Rp. 3.118,404 trliun. Kondisi ini berimplikasi terhadap Pembiayaan pokok dan bunga pemerintah USD 1.283 miliar. Pembiayaan pokok dan bunga swasta pada kwartal III senilai USD 30.223 miliar. Total pembiayaan pokok dan bunga pemerintah dan swasta pada kwartal III 2013 mencapai USD 31.506 miliar.

Deficit yang terus menerus terjadi sepanjang periode tahun 2013 menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin merosot. Kondisi ini menimbulkan efek domino terhadap ekonomi nasional seperti ambruknya sector perbankkan dan industri nasonal lainnya, tingginya harga pangan dan inflasi, serta semakin meluasnya pengangguran dan tingkat kemiskinan di Indonesia.

Merosotnya rupiah dan ambruknya sektor riel sebagai implikasi dari jatugnya rupiah akan memicu bangkrutnya industri yang selama ini bergantung pada bahan baku impor. Saat yang sama inflasi atau harga-harga secara umum akan meningkat tajam. BI memperkirakan 2014 inflasi mencai 8 persen. Berada diatas rata-rata tahun ke belakang yang hanya 5 persen.

Namun yang akan terkena hantaman paling keras adalah sector swasta termasuk perbankkan. Utang swasta saat ini telah melampoi utang pemerintah. Merupkana kejadian yang berlangsung sejak 2012 dan untuk pertama kali sejak krisis 1998.

Untuk mengantisipasi Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) menandatangani ASEAN Swap Agreement senilai US$ 2 miliar. Bilateral swap agreement yang sudah dilakukan Indonesia dengan beberapa negara lain seperti Jepang, China, dan Korea Selatan, dengan maksud menyediakan cadangan devisa bagi Indonesia yang kian memburuk.

BI juga menjajaki kesepakatan Chiangmai Initiative yang nilainya akan ditingkatkan dua kali lipat menjadi US$ 240 miliar dari sebelumnya yang hanya US$ 120 miliar. Dana ini akan menjadi sumber utang bagi Indonesia jika tidak mampu bayar utang.

Tidak hanya itu, minggu lalu SBY berangkat ke Jepang untuk megemis utang luar negeri dalam mengatasi krisis ekonomi yang segara akan menghantam Indonesia. Sebelumnya Pemerintah Jepang mengatakan bahwa mereka akan menambah dua kali lipat utang kepada Indonesia menjadi US $12 miliar atau sekitar Rp. 144 trilliun sebagai Currency swap. Dikatakan bahwa ini adalah antisipasi dari kebijakan moneter AS awal tahun mendatang yang akan memukul ekonomi Indonesia.

Keuangan Indonesia, yang merupakan jantung bagi ekonomi, digantungkan pada bangsa lain. Dengan demikian kapan mau diselamatkan dan kapan mau dihancurkan ditentukan bangsa lain. Hal ini jelas merupakan cara paling buruk dalam mengatur ekonomi yang semakin menjauhkan kita dari kedaualatan.. Pertanyaannya?? untuk apa dibentuk BI, Otoritas Jasa Keuangan, LPS, dan nantinya Jaring Pengaman Sektor Keuangan, yang komisarisnya digaji ratusan juta per orang, namun toh nasib keuangan Indonesia bergantung pada negara lain. Cara SBY akan semakin dalam menjerumuskan bangsa ke dalam cengkraman asing dan utang luar negeri. Kegagalan 9 tahun dalam menjalankan pemerintahan dan membangun fundamen ekonomi, malah diatasi dengan utang yang justru akan semakin menjerumuskan bangsa.



Supported : Tenaga Sosial

Tidak ada komentar:

Posting Komentar